DEMO – Puluhan warga serta orang tua pelajar SMP menggelar aksi demo damai di halaman SMP Kalam Kudus, Timika, Senin (13/10). (FOTO: GREN/TIMEX)
TIMIKAEXPRESS.id – BRIGITA Lokbere (13) semula dikenal sebagai siswi yang ceria.
Setiap pagi ia berjalan kaki menuju sekolahnya di SMP Kalam Kudus, Nawaripi Dalam, sambil menenteng tas lusuh kesayangannya.
Namun sejak Jumat (11/10), langkahnya terasa berat. Ia memilih diam, tak lagi mau berangkat ke sekolah.
“Aku takut, Ma,” ucapnya pelan, seperti ditirukan ibunya, Since Lokbere.
Hari itu, Brigita disebut dengan kata “monyet” oleh teman sekelasnya, sebuah ejekan yang bagi sebagian orang mungkin terdengar remeh, tetapi bagi Brigita, meninggalkan luka yang dalam.
Senin (13/10), halaman SMP Kalam Kudus yang biasanya ramai oleh tawa pelajar berubah menjadi tempat berkumpulnya puluhan warga.
Mereka datang membawa pamflet bertuliskan “Stop Bullying di Sekolah”, “Kami Bukan Monyet”, dan “Ini Tanah Kami.”
Aksi berlangsung damai. Tidak ada teriakan marah, hanya wajah-wajah kecewa dan suara doa yang dilantunkan di bawah terik matahari Timika.
“Kami tidak datang untuk marah, kami datang supaya anak-anak kami dihargai,” kata Elipanus Wasareak, salah satu tokoh masyarakat yang ikut berdiri di barisan depan aksi.
Orang Tua yang Menahan Luka
Bagi Since Lokbere, kejadian itu bukan sekadar persoalan antar-anak.
Ia merasa ada tanggung jawab moral dari sekolah untuk menumbuhkan rasa hormat di antara siswa.
“Anak saya tidak mau makan, tidak mau bicara. Ia bilang malu dipanggil begitu di depan teman-temannya,” ucapnya.
Laporan ke wali kelas sudah dilakukan, namun, menurutnya, tak ada tindak lanjut.
“Saya hanya ingin anak saya diperlakukan adil. Kami juga warga Indonesia. Kami juga punya hak untuk dihargai,” tambahnya.
Sekolah Janji Evaluasi
Ketua Yayasan Kalam Kudus, Pdt. Nining Lembang, mengakui insiden itu menjadi peringatan penting bagi pihak sekolah.
“Sekolah harus menjadi ruang aman bagi siapa pun. Kami akan melakukan evaluasi internal dan memastikan kejadian seperti ini tidak terulang,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mimika, Jeni Usmani, menegaskan bahwa pihaknya akan memanggil guru dan pengurus yayasan untuk menelusuri kasus ini.
“Jika terbukti ada tindakan rasisme atau pembiaran, sanksi tegas akan diberikan. Sekolah harus mendidik, bukan melukai,” tegasnya.
Luka yang Lebih Dalam dari Kata
Psikolog pendidikan di Timika, Maria Duwit, menyebut bahwa ejekan berbasis ras atau warna kulit bisa meninggalkan trauma panjang bagi anak-anak.
“Pada usia remaja awal, harga diri sedang tumbuh. Ketika mereka diejek karena identitasnya, itu bisa menghancurkan rasa percaya diri,” ujarnya.
Maria menilai, kasus seperti yang dialami Brigita seharusnya menjadi momentum bagi sekolah untuk memperkuat pendidikan karakter dan empati antarbudaya.
“Sekolah bukan hanya tempat belajar membaca dan berhitung, tetapi juga tempat anak belajar menghargai perbedaan,” katanya.
Suara yang Tak Boleh Hilang
Menjelang siang, aksi damai itu berakhir dengan tenang.
Para orang tua meninggalkan halaman sekolah dengan harapan yang sama, agar anak-anak mereka tidak lagi menjadi korban kata-kata yang merendahkan.
Brigita sendiri belum kembali ke sekolah.
Ia masih di rumah, menggambar bunga di buku catatannya.
Di salah satu halaman, ia menulis kalimat pendek dengan huruf besar:
“Aku bukan monyet. Aku anak Papua.”
Kalimat sederhana itu mungkin hanya tulisan anak kelas tujuh, tapi di baliknya tersimpan pesan kuat tentang harga diri, keberanian, dan harapan agar setiap ruang belajar di tanah Papua menjadi tempat di mana setiap anak merasa aman menjadi dirinya sendiri. (*/gren telaubun)
Jumlah Pengunjung: 40