FOTO BERSAMA – Ketua Lemasa, Menuel Jhon Magal didampingi Ketua MRP Papua Tengah, Agus Anggaibak foto bersama tokoh masyarakat, warga Amungme seusai deklarasi dan penandatanganan naskah deklarasi Amungun di Hotel 66 Cenderawasih, Sabtu (30/8) (FOTO: GREN/TIMEX)
TIMIKAEXPRESS.id – Matahari Timika baru saja meninggi ketika ratusan orang mulai memadati Hotel Cenderawasih 66 pada Sabtu (30/8).
Dari luar, suasana tampak seperti acara biasa. Namun, ketika memasuki ruangan utama, hawa adat terasa begitu kuat.
Para tetua dengan noken tersampir di bahu, perempuan adat dengan senyum penuh kebanggaan, hingga anak-anak muda berbaur di antara mereka.
Semua hadir, bukan sekadar untuk sebuah acara, melainkan untuk meneguhkan jati diri Amungme.
Hari itu, Deklarasi Amungun digelar. Sebuah pernyataan bersama, bahwa Lemasa adalah benteng terakhir orang Amungme, lembaga adat yang sah, sekaligus rumah besar yang menjaga martabat manusia dan tanah leluhur mereka.
“Lemasa bukan milik satu orang, bukan milik satu marga. Lemasa adalah milik seluruh Amungme,” tegas seorang tetua, suaranya parau namun penuh wibawa.
Kalimat itu langsung disambut tepuk tangan dan seruan dukungan, tanda bahwa pesan itu mengakar dalam hati semua yang hadir.
Momen paling haru terjadi saat perwakilan dari 13 wilayah adat berdiri satu per satu, menandatangani naskah deklarasi.
Ada yang meneteskan air mata, ada pula yang mengepalkan tangan seolah menyimpan sumpah untuk menjaga Amungsa.
Bagi mereka, tanda tangan itu bukan sekadar formalitas, melainkan ikrar untuk generasi kini dan mendatang.
Di tengah suasana itu, Menuel Jhon Magal, Amungme Nagawan Lemasa, berdiri tegak.
Suaranya bergetar namun tegas: “Suara Lemasa adalah suara global, suara kemanusiaan dari puncak Nemangkawi.”
Ia mengingatkan bahwa perjuangan Lemasa melampaui batas adat—menyentuh isu kemanusiaan, keadilan, dan lingkungan hidup.
Ketua MRP Papua Tengah, Agus Anggaibak, pun tak bisa menyembunyikan rasa bangganya.
Baginya, Lemasa versi Musdat adalah wujud keaslian sejarah Amungme.
“Ini honai orang Amungme. Jangan ada lagi Lemasa lain untuk kepentingan sempit,” ucapnya lantang.
Di akhir acara, ketika SK pengurus Lemasa diserahkan secara simbolis, riuh tepuk tangan menggema. Ada rasa lega sekaligus bangga.
Bagi masyarakat Amungme, Deklarasi Amungun bukan sekadar upacara, melainkan napas baru—pesan abadi bahwa mereka akan terus berdiri menjaga tanah, manusia, dan martabat Amungme di tengah perubahan zaman.
Adapun Deklarasi Amungun terkait peneguhan hasil Musdat Pengurus Dewan Adat Daerah, Nerek Naitorei, Nal Naitorei dari 13 wilayah adat dan wilayah Diaspora Lemasa, menyatakan:
1. Lemasa adalah lembaga adat sah milik masyarakat hukum adat Suku Amungme.
Lemasa terbentuk dari konfederasi 11 wilayah pemerintahan adat, dan melalui Musdat III pada 19 Januari 2023 bertambah menjadi 13 wilayah pemerintahan adat (Mbrum Mbram Tagal -Delematagal) serta 1 wilayah diaspora.
Lemasa bukan milik marga tertentu atau perorangan, melainkan milik seluruh masyarakat adat Suku Amungme dari 13 wilayah pemerintahan adat.
Oleh karena itu, Musdat menjadi forum tertinggi pengambilan keputusan bagi masyarakat Amungme.
Keputusan Amungme bukan keputusan tunggal, melainkan keputusan kolektif.
2. Lemasa yang sah dan mengikat adalah hasil konsensus 13 Wilayah Pemerintahan Adat di tanah Amungsa dan 1 Wilayah Diaspora, yang tersebar di Indonesia Bagian Timur, Tengah, Barat, dan mahasiswa Amungme di tingkat internasional.
3. Dengan suara bulat, kami menyerukan kepada Pemerintah Daerah di Timika untuk segera mengesahkan Lemasa sebagai Lembaga Masyarakat Hukum Adat yang sah dan diakui secara resmi.
4. Lemasa diteguhkan kembali sebagai benteng terakhir yang menjaga manusia Amungme dan alam Amungsa, memperjuangkan martabat serta harga diri Suku Amungme, sekaligus menjadi saluran resmi aspirasi rakyat kepada pemerintah maupun pihak swasta/terkait.
5. Keberadaan Lemasa berakar pada Musyawarah Adat (Musdat) sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi yang mengikat secara adat, moral, dan hukum, sehingga tidak dapat digantikan oleh bentuk atau wadah lain di luar kesepakatan masyarakat adat Amungme, walaupun pakai nama Lemasa.
6. Menegaskan bahwa setiap upaya, tindakan, maupun rekayasa yang bertujuan melemahkan, menggantikan, atau mengatasnamakan Lemasa di luar konsensus adat yang sah, dinyatakan batal demi hukum adat, moral, hukum negara dan tidak memiliki legitimasi.
7. Mulai saat deklarasi ini diucapkan, ditegaskan bahwa tidak seorang pun dari Suku Amungme, baik secara perorangan maupun kelompok, tidak diperkenankan menggunakan nama Lemasa untuk tujuan mendirikan organisasi apapun di luar ketentuan adat. Setiap upaya mendirikan organisasi dengan mengatasnamakan Lemasa dinyatakan tidak sah, melanggar hukum adat, dan oleh karena itu masyarakat Amungme berhak melaporkan pihak tersebut kepada Kepolisian, serta bila diperlukan menempuh jalur hukum melalui pengadilan.
8. Dengan penuh kesadaran, kami, para pemangku adat, tokoh Amungme, tokoh lima suku kerabat, tokoh Papua lainnya, perempuan adat, pemuda adat, tokoh gereja, serta masyarakat diaspora, menyatakan bahwa Lemasa adalah lembaga sah milik Suku Amungme untuk selama-lamanya.
9. Mengokohkan dan meneguhkan Dewan Adat, Nerek Naitorei, dan Nal Naitorei dari 13 Wilayah Pemerintahan Adat Suku Amungme beserta 1 wilayah Diaspora sebagai fondasi sah Lemas, yaitu Alam-un, Bel-un, Umpliga, Noem-un, Hoe-un, Tsing-un, Wa-un, Arwa-un, Jewa-Boma-Duma dan Dama, Domalia, Agimuga, Jita dan Seolara. Sedangkan, wilayah diaspora yaitu Indonesia Timur, Indonesia Tengah, Indonesia Barat dan Mahasiswa Internasional.
10. Berdasarkan SK 202 tentang pembentukan Lembaga Adat Suku Amungme dan Kamoro Kabupaten Daerah Tingkat II Fakfak, dimana ditegaskan bahwa Lembaga Kerapatan Adat yang dimaksud pada Diktum pertama adalah organisasi non-struktural dengan tugas pokok membantu Pemerintah Daerah Tingkat II Fakfak menyelesaikan masalah, melestarikan budaya, menggerakkan partisipasi masyarakat secara aktif, serta mendukung pelaksanaan tugas pemerintah, pembangunan, dan pemasyarakatan.
Dimana tujuan awal pendirian Lemasa, Pemerintah Daerah Kabupaten Mimika segera mengesahkan Lemasa versi Musdat sebagai Lembaga Masyarakat Hukum Adat Suku Amungme dan menegakkan kembali tujuan awal tersebut, sehingga masyarakat hukum adat Suku Amungme bukan obyek pembangunan, tetapi subyek pembangunan yang berperan aktif dalam kemitraan sejajar dengan Pemerintah Kabupaten Daerah Mimika. (via)
Jumlah Pengunjung: 6