DPR Papua Tengah Soroti Urgensi Perda Living Law

18 hours ago 8

HEARING – Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Tengah (DPRPT) menggandeng Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Mimika menggelar hearing dan seminar di Timika (FOTO: ISTIMEWA)

TIMIKAEXPRESS.id – Pemerintah Daerah Papua Tengah didesak segera menyusun Peraturan Daerah (Perda) Living Law atau hukum adat.

Desakan ini muncul menyusul maraknya kasus-kasus adat yang berujung pada penetapan denda adat dengan nilai tinggi, bahkan dinilai berpotensi menjadi objek komersial dan memicu konflik horizontal di tengah masyarakat.

Hal ini mengemuka dalam hearing pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Tengah (DPRPT) dan seminar yang digelar atas kerja sama DPRPT dengan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Mimika di Timika akhir pekan lalu.

Selama ini, salah satu persoalan utama dalam praktik peradilan adat di Papua adalah belum adanya regulasi resmi yang mengatur batas kewajaran nilai denda adat.

Belum adanya aturan tersebut membuka ruang bagi penetapan sanksi adat yang berlebihan dan berpotensi menggeser tujuan penyelesaian adat dari pemulihan harmoni sosial menjadi sengketa berkepanjangan.

Kehadiran pemerintah daerah dinilai mendesak, sejalan dengan amanat Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus), untuk mengatur mekanisme peradilan adat, termasuk standardisasi nilai denda adat.

Tokoh Papua, John N.R. Gobai, yang juga anggota DPRPT menjelaskan bahwa hukum adat di Tanah Papua telah hidup dan dijalankan oleh masyarakat melalui tatanan yang dibentuk oleh para pemimpin adat.

“Tujuan utama hukum adat adalah menyelesaikan masalah dan meredakan ketegangan sosial. Putusan adat wajib ditaati dan partisipasi masyarakat dalam menjalankan hukum adat merupakan cara menjaga keseimbangan relasi sosial, ketentraman, dan kedamaian,” ujarnya.

Keberadaan peradilan adat dinilai penting, terutama karena keterbatasan akses masyarakat di wilayah terpencil terhadap sistem peradilan formal, serta kuatnya tradisi hukum yang masih dipraktikkan secara turun-temurun.

Direktur Kepercayaan dan Masyarakat Adat Kementerian Kebudayaan RI, Syamsul Hadi, menegaskan bahwa living law, termasuk hukum adat, tidak pernah hilang dari kehidupan masyarakat.

“Hukum adat tersimpan dalam kesadaran hukum masyarakat dan menunggu saat yang tepat untuk muncul. Istilah ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ merujuk pada hukum tidak tertulis yang telah dianut sejak dahulu,” jelasnya.

John Gobai juga mengingatkan bahwa pengakuan peradilan adat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pasal 50 ayat (2) menyatakan bahwa selain kekuasaan kehakiman, diakui adanya peradilan adat dalam masyarakat hukum adat tertentu.

Menurutnya, tujuan utama peradilan adat adalah mengakui dan melindungi masyarakat adat, menjamin kepastian hukum dan keadilan, menjaga keseimbangan sosial dan kosmologis, serta membantu pemerintah dalam penegakan hukum.

Sementara itu, Ruben Magai dari Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) menekankan bahwa Perda tentang living law harus mengatur secara rinci jenis perkara adat, lembaga yang berwenang, tata cara penyelesaian, pembuktian adat, standardisasi denda adat, serta hubungan kerja dengan aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.

Akademisi STIH Mimika, Marvey Dangeubun, S.H., M.H., menyarankan agar penyusunan Perda Living Law didasarkan pada penelitian hukum yang komprehensif guna mencegah terjadinya benturan antara hukum adat dan hukum positif.

Melalui seminar tersebut, Pemda Papua Tengah direkomendasikan segera melakukan pemetaan hukum adat secara partisipatif, menetapkan masyarakat hukum adat, menyusun Perda Khusus atau Perdasus, serta memperkuat kapasitas aparat daerah dan lembaga adat dalam penerapan living law. (red)

Jumlah Pengunjung: 12

Read Entire Article
Sumut Bermartabat| Timika Hot | | |