BAKAR BARU – Warga Kampung Kimbeli bergotong royong melakukan ritual adat bakar batu menyambut Natal dan tahun Baru (FOTO: ISTIMEWA/TIMEX)
TEMBAGAPURA, TIMIKAEXPRESS.id – Asap tipis perlahan menari di udara pagi Kampung Kimbeli, Distrik Tembagapura.
Bukan asap pertanda bahaya, melainkan tanda kehidupan sedang dirayakan.
Di sanalah, di atas tanah yang sejuk dan sunyi pegunungan Papua, ratusan warga berkumpul dalam lingkaran persaudaraan untuk sebuah tradisi yang telah diwariskan turun-temurun: bakar batu.
Sejak pukul delapan pagi, sekitar 500 warga dari berbagai usia terlihat sibuk.
Ada yang mengangkat batu, ada yang menyiapkan daun, ada yang memotong sayuran dan daging, sementara anak-anak berlarian kecil di tepi lapangan dengan tawa yang lepas.
Semua bergerak dalam satu irama: gotong royong.
Senin, 1 Desember 2025, bukan sekadar hari biasa. Bakar batu digelar sebagai ungkapan syukur sekaligus sambutan hangat bagi Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025–2026.
Di balik tumpukan batu panas dan aroma makanan yang perlahan matang, tersimpan makna yang lebih dalam dari sekadar perjamuan bersama.
“Bakar batu ini tanda damai. Damai itu indah,” ujar Tokoh Agama Kampung Kimbeli, Moap Magay, dengan senyum yang menenangkan.
Bulan Desember, baginya, adalah bulan berkumpul, bulan saling memaafkan, dan bulan merawat kembali ikatan yang mungkin renggang oleh waktu dan persoalan hidup.
Tak hanya menjadi simbol syukur, kegiatan ini juga menjadi ruang pertemuan lintas generasi.
Kaum tua duduk berbagi cerita, para ibu menata hidangan dengan telaten, sementara para pemuda sigap membantu di mana saja dibutuhkan.
Tokoh Pemuda Kampung Kimbeli, Mendinus Magay, melihat momen ini sebagai napas baru bagi persatuan warganya.
“Bulan ini dikenal sebagai bulan kedamaian. Kami, pemuda, siap menjaga keamanan agar Tembagapura tetap aman dan damai,” katanya penuh semangat.
Di tengah hangatnya bara dan doa-doa yang terlantun, masyarakat juga mengenang berbagai bantuan dan program pemerintah yang mulai menyentuh kehidupan mereka dari pendidikan, pangan, hingga perumahan.
Namun yang paling terasa hari itu bukanlah bantuan materi, melainkan rasa dihargai dan diperhatikan.
Saat makanan akhirnya dibagikan dan dinikmati bersama dalam gelak tawa, rasa lelah seketika menguap.
Yang tersisa hanyalah kebahagiaan sederhana: duduk bersama, makan dari hidangan yang dimasak oleh alam, dan saling menatap sebagai saudara.
Di Kampung Kimbeli, damai memang tidak pernah hanya diucapkan.
Ia dimasak perlahan di antara batu-batu panas, disajikan dalam kebersamaan, lalu disimpan di hati setiap orang yang hadir.
Dan di sanalah, makna Natal dan Tahun Baru menemukan rumahnya: dalam lingkaran api, doa, dan persaudaraan yang tak pernah padam. (tim)
Jumlah Pengunjung: 57

2 days ago
11

















































