TIMIKAEXPRESS.ID,TIMIKA
Berbagai aksi kekerasan maupun konflik di Tanah Papua hingga terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kian memburuk dan mengkhawatirkan.
Ini merupakan potret dari insiden tertembaknya mama Hertina Murip pada 23 Mei 2025 di Kampung Dugusiga, Distrik Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah.
Mirisnya, mama Hertina setelah tertembak mati, jazadnya pun dikuburkan secara tidak wajar atau tidak manusiawi.
Disayangkan pula, pelaku maupun motif dari tindakan barbar ini belum terungkap.
Bahkan oknum TNI yang diduga melakukan penembakan, nyatanya membatah keras kalau TNI tidak terlibat dalam peristiwa kematian Hertina.
Demikian pula Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), dengan tegas menyatakan tidak terlibat dalam insiden penembakan mama Hertina.
Bhakan sampai saat ini konflik dan kekerasan masih terus berlanjut hingga korban terus berjatuhan, termasuk serangan udara diduga terus dilancarkan pihak TNI.
Situasi ini membuat banyak warga sipil, entah bayi, anak-anak, orang dewasa, Lanjut Usia (Lansia) harus terusik hidupnya, dan terpaksa mengungsi dari kampung halamannya ke hutan, maupun ke kampung atau kabupaten tetangga untuk menyelamatkan diri dari aksi kekerasan dan konflik.
‘’Saya pikir, konflik bersenjata yang diakibatkan juga oleh pengerahan pasukan militer yang berlebihan, ini membuat situasi menjadi runyam dan sulit terkedali. Sangat menyedihkan situsi Papua yang terus dilanda konflik dan kekerasan yang tak berkesduahan, lagi-alagi kelompok rentan seperti kaum ibu dan anak-anak yang tidak tahu menahu menjadi korban kebrutalan para pihak yang berkonflik’’.
Demikian dikataan Thomas CH. Syufi selaku Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR) melalui rilis yang diterima media ini, Minggu (1/6/2025).
Menyikapi situasi di Papua, Thomas minta agar Presiden RI Pabowo Subianto segera turun tangan menanganinya.
‘’Pa Presiden harus peka dan peduli. Para korban bukan kombatan atau bagian dari agen dari manapun, tetapi korban adalah seorang ibu rumah tangga, yang juga adalah warga negara yang memiliki hak asasi yang sama dengan warga negara lain, memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan mendapat jaminan keselamatan oleh negara secara adil, agar tidak terksesan ada tindakan diskriminasi dan pembiaran terhadap korban pelanggaran HAM di Papua,’’ tegasnya.
Thomas pun berharap Presiden Prabowo bisa mengurangi sedikit dalam berwejangan maupun melakukan berbagai ikhtiar diplomasi, dengan jalinan persahabatan yang luas dalam urusan politik luar negeri, dan segala kegiatan lain yang tidak terlalu urgen dari isu HAM di Papua.
‘’ Saya amati belum ada pernayataan atau sikap resmi Presiden Prabowo sejak dilantik, terutama menyangkur road map penyelesaikan konflik dan kekerasan di Papua, juga pelanggaran HAM. Ketika keadilan dan HAM teraniaya, serta mengalami problem struktural, yang dibutuhkan adalah intervensi, bukan debat kusir dan cerita romantis di ruang rapat eksekutif atau legislatif, karena keadilan yang datang terlambat sama dengan tidak ada keadilan sama sekali. Jadi, saya minta siapa pun yang terlibat dalam pelanggaran HAM di Papua, termasuk pembunuh mama Hertina secara tidak manusiawi harus diberikan ganjaran hukuman yang setimpal agar memberi efek jera bagi pelaku, bukan diberi perlindungan atau mendapatkan impunitas dan privilege, keistimewaan dari negara. Kalau itu terbukti secara sah dan meyakinkan, maka pelaku pelanggaran HAM harus diproses hukum dan dipecat bila yang bersanmgkutan dari institusi TNI atau Polri,’’ tegasnya lagi.
Dikatakan pula, sudah waktunya para pemangku kepentingan di Jakarta berhenti membangun narasi dan klarifikasi tentang kondisi pelanggaran HAM dan kekerasan di Papua, dengan mengambil langkah konkret, pasti, dan terukur dalam penyelesaikan masalah, baik dalam mengungkap semua kasus pelanggaran HAM, termasuk para pelakunya harus digiring ke meja hukum.
‘’Biarkan hukum yang membuktikan pembuatannya, bukan pembelaan sujektif secara institusional dan structural,’’ ujarnya.
Ia juga berharap Presiden Prabowo juga secepatnya menentukan skema resolusi konlfik Papua melalui jalan dialog yang adil dan bermartabat antara pemerintah Indonesia dan kelompok pejuang kemerdekaan Papua, seperti TPNPB-OPM, United Liberation Movement for West Papua (LMWP), dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB), sebagai cara terakhir untuk menghalau kekerasan dan menghapus aneka lintani kematian di Tanah Papua.
‘’Saya minta Jakarta jangan anggap remeh-temah atas kematian warga sipil di Papua, terutama dari sisi kuantitas, karena sedikit- demi sedikit orang Papua yang mati dan dibunuh, itu memiliki martabat yang sama dengan manusia. Apalagi pelanggaran HAM Papua sudah terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif dilakukan oleh militer Indonesia sejak kebijakan Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961, bahkan korbannya sudah mencapai ratusan ribu orang. Dan sebagian besar dari itu tidak pernah dipertanggujawabkan oleh negara alias tidak diusut tuntas dan proses hukum pelaku penjahat HAM,’’ jelasnya.
Sebagaimana laporan Komnas HAM RI, 25 Januari 2024 menyebutkan bahwa pelanggaran HAM di Papua selama tahun 2023 mencapai 113 peristiwa, dan 80 di antaranya berdimensi kekerasan dan konflik bersenjata antara aparat keamanan dan kelompok sipil bersenjata.
Ini hanya laporan yang terpantau di media, belum yang tidak dipublikasi oleh media, tentu masih banyak yang belum terungkap, dan itu hanya terjadi pada tahun 2023.
Menurut konsep HAM, lanjut Thomas, membunuh satu orang tanpa kesalahan, ini sama dengan membunuh semua orang.
‘’Jadi, sangat riskan bila Jakarta terus mengabaikan pelanggaran HAM di Papua, apalagi melihat Papua dengan kacamata kuda, bukan memandang dari perspektif Pancasila yang menghendaki penghormatan terhadap HAM, dan perlindungan terhadap segenap warga negara Indonesia tanpa diskiminasi, polarisasi, dan segregasi,’’ pungkasnya. (tim)
Jumlah Pengunjung: 11