Dua pengukir kayu dari Kampung Kokonao, Distrik Mimika Barat yaitu Amandus Utamakope (kiri) dan Antonius Take (kiri) (FOTO: ANTARA/TIMEX)
TIMIKAEXPRESS.id – Di tepi pesisir Mimika Barat, jauh dari hiruk-pikuk kota Timika, suara pahat masih terdengar lirih di halaman rumah-rumah kayu Kokonao.
Dari tangan-tangan para pengukir Suku Kamoro, lahirlah karya yang bercerita tentang leluhur, laut, dan kehidupan.
Salah satu di antara mereka, Antoninus Take, sudah puluhan tahun menekuni seni ukir khas Kamoro.
Sejak muda, ia belajar memahat batang kayu hingga menjadi patung, topeng, atau perahu kecil yang sarat makna simbolik.
“Kalau kami ukir, kami bicara dengan kayu,” katanya sambil tersenyum.
Namun di balik semangat itu, tersimpan harapan besar.
Para pengukir di Kokonao ingin memiliki sanggar seni — tempat untuk berkumpul, menyimpan, dan memamerkan karya.
Selama ini, mereka hanya membuat ukiran jika ada pesanan.
“Kalau ada sanggar, kami bisa ukir lebih banyak dan hasilnya disimpan di situ,” ujar Antoninus.
Bagi mereka, sanggar bukan sekadar gedung.
Ia adalah ruang untuk menjaga napas budaya Kamoro agar tak hilang digerus zaman.
Amandus Utamakope, pengukir lainnya, mengenang masa ketika ukiran Kamoro sempat dikenal hingga ke luar negeri, sejajar dengan seni Asmat.
“Dulu kami sempat dibantu alat ukir. Tapi sudah lama tidak ada lagi,” katanya lirih.
Harapan itu kini sedikit menyala berkat dukungan dari Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK).
Melalui program Pokja Ekonomi Kampung Kokonao, mereka menyalurkan bantuan alat-alat ukir seperti pahat dan gergaji.
“Alat sudah kami bagikan ke para pengukir supaya bisa terus berkarya,” ujar Fransiskus Kawarapea, Sekretaris Pokja Kampung Kokonao.
Kepala Kampung Kokonao, Onesimus Kawarepea, mendukung penuh keinginan warga.
Ia menilai sanggar seni harus ada di Kokonao sebagai wujud penghargaan terhadap kota tua yang menjadi cikal bakal berdirinya Kabupaten Mimika.
“Kalau pemerintah bantu bangun sanggar seni, kami bisa hidupkan lagi budaya Kamoro. Anak-anak bisa belajar, dan karya orang tua tidak hilang begitu saja,” katanya penuh harap.
Di bawah langit senja Kokonao, pahat masih menari di atas batang kayu.
Setiap guratan adalah doa dan cerita.
Mereka tidak sekadar mengukir bentuk, tapi juga mengukir identitas — agar generasi Kamoro tahu, bahwa dari kayu pun, lahir kebanggaan. (*/ant)
Jumlah Pengunjung: 23

2 days ago
9

















































