TIMIKAEXPRESS.id – Keuskupan Timika secara terbuka menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi kemanusiaan di tanah Papua yang semakin hari semakin memburuk.
Kondisi miris dan nyata ini terkait konflik bersenjata atau ‘perang’ yang terus berlangsung antara aparat keamanan negara dengan kelompok pejuang Papua merdeka di sejumlah wilayah di Tanah Papua.
Bahkan, hingga kini ekskalasi konflik bersenjata semakin meningkat, bahkan memakan banyak korban, dan pastinya terus mengancam kehidupan masyarakat sipil di Tanah Papua.
Menyikapi situasi konflik yang memprihatinkan di sejumlah wilayah di tanah Papua, maka
sebagai Gereja Katolik Keuskupan Timika yang berpastoral di wilayah berkonflik, dan terdapat banyaknya pengungsi, ingin menyampaikan kepada kita semua, dan secara khusus mendorong aktor-aktor terlibat konflik-perang, menyerukan 7 poin, yaitu:
- Kepada negara dan pihak TPNPB-OPM untuk melakukan gencatan senjata, atau mengangkat senjata untuk segera melakukan jeda kemanusiaan, meletakkan senjata, menciptakan zona tanpa perang demi adanya pertolongan kemanusiaan bagi masyarakat sipil yang mengungsi di berbagai tempat.
- Agar negara menjamin perlindungan hak-hak dasar masyarakat sipil, khususnya para pengungsi akibat konflik, sesuai dengan amanat konstitusi dan prinsip-prinsip kemanusiaan.
- Kepada aparat keamanan dan TPNPB-OPM, agar menghentikan pertikaian di perkampungan warga atau dekat dengan pemukiman warga sipil, dan menjamin perlindungannya sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional dan UU TNI/Polri, yakni UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 dan UU Polri Nomor 2 Tahun 2002.
- Kepada aparat keamanan agar menghentikan kebijakan militeristik terhadap warga sipil di kampung pengungsian, termasuk pelarangan berkebun, dan wajib lapor yang mengekang kebebasan para pengungsi. Karena kebijakan seperti ini mengancam ketahanan pangan dan keberlangsungan hidup para pengungsi yang hari ini hidup penuh keterbatasan sandang-pangan.
- Agar Negara segera melakukan jeda investasi di seluruh tanah Papua, meninjau kembali proses-proses dengan mayarakat pemilik hak ulayat, dan meninjau kembali semua izin-izin eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang telah dikeluarkan kepada investor, yang berpotensi merusak alam dan menghancurkan sumber penghidupan masyarakat pribumi Papua.
- Kepada Pemerintah Pusat, Provinsi dan daerah, agar sungguh-sungguh hadir dan menjalankan fungsi pelayanan publik secara maksimal kepada semua warga masyarakat dan secara khusus kepada para pengungsi, termasuk penyediaan bantuan kemanusiaan dan pemulihan sosial.
- Kepada Pemerintah Pusat sampai daerah, pihak TPNPB-OPM, pihak TNI-POLRI, agar bersama-sama berupaya mencari pendekatan penyelesaian konflik yang lebih beradab, lebih bermartabat, lebih manusiawi. Dan kepada semua pihak harus bersedia berdialog secara politik melalui mediasi pihak ketiga yang netral.
Tujuh poin seruan Keuskupan Timika, ini disampaikan Uskup Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA, yang didampingi Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Timika, Saul Paulo Wanimbo, dan Sekretaris SKP Adolof Kambayong, dalam konferensi pers di Kantor Keuskupan Timika, Mimika-Papua Tengah, Selasa (22/7/2025).
“Kami Gereja Katolik Keuskupan Timika percaya bahwa dengan kemauan baik dari Negara, dan dari semua pihak terkait, situasi kemanusiaan di Tanah Papua, secara khusus di Intan Jaya dan Puncak Papua dapat dipulihkan. Dan semoga Tuhan Yang Maha Esa membantu dan memberkati upaya-upaya kita bersama ke depan,” ungkap Saul Paulo Wanimbo.
Saul Wanimbo kerap ia disapa menugngkapkan bahwa konflik bersenjata, khususnya di wilayah Kabupaten Intan Jaya, Ndugama dan Kabupaten Puncak, Papua Pegunungan, juga sesekali meletup di Kabupaten Paniai, Kabupaten Dogiyai, dan Deiyai.
Ia tidak menampik, meningkatnya ekskalasi konflik, bukan saja karena adanya operasi militer dengan strategi perang seperti “membumihaguskan” perkampungan-perkampungan warga sipil.
Namun, aparat keamanan juga menggunakan persenjataan-persenjataan modern dan canggih dengan daya ledak tinggi, serta jangkauan lebih luas.
“Senjata perang tersebut seperti pesawat tempur, mortir, bom, dan drone. Dimana aparat keamanan tidak hanya menyerang TPNPB-OPM, tetapi menyasar pemukiman, dan ruang-ruang sipil seperti perkampungan, sekolah, rumah sakit, Puskesmas, gereja, dan pastoran. Bahkan pastori atau rumah petugas gereja, kebun dan kandang ternak warga hingga tempat-tempat lain dimana masyarakat sipil beraktivitas, sehingga mereka benar-benar terperangkap di tengah perang,” katanya prihatin.
Seperti halnya yang baru saja terjadi di Kabupaten Puncak, Papua Pegunungan, tepatnya di Kampung Tuanggi I, Distrik Gome Utara, atau di Kabupaten Intan Jaya pada 12 Mei 2025 yang mengorbankan 4 orang warga sipil di Kampung Titigi, dimana salah satu korban meninggal adalah seorang dengan gangguan jiwa (ODGJ-Orang Dengan Gangguan Jiwa).
Ia menyebut perang antara TNI/POLRI melawan TPNPB-OPM, ini sudah cukup lama, dan banyak memakan korban jiwa, bukan saja pada pihak berkonflik tetapi juga warga sipil.
“Konflik tersebut menyebabkan ribuan warga sipil ketakutan, lari meninggalkan rumah, kebun, ternak piaraan dan pekerjaan sehari-hari, meninggalkan kampung lahamannya mencari tempat aman untuk mengungsi,” ujarnya.
Menurut Saul Wanimbo, hingga kini banyak warga sipil mengungsi dan berada di tempat pengungsian, baik itu yang mengungsi di dalam kabupaten sendiri, maupun mengungsi ke kabupaten-kabupaten tetangga yang dirasa lebih aman.
“Menurut informasi dan data yang kami terima, para pengungsi di Kabupaten Puncak sebanyak 4.469 jiwa, ini tersebar di beberapa distrik, yaitu Distrik Gome, Gome Utara, Ilaga, Omukia, Oneri, Pogoma, Sinak, dan Distrik Yugumoak,” jelasnya.
Sedangkan pengungsi di Kabupaten Intan Jaya mencapai 1.231 jiwa, ini tersebar di Kampung Sugapa Lama, Desa Hitadipa, Kampung Janamba, Desa Sanaba, Kampung Jalinggapa dan Kampung Titigi.
Tidak hanya itu, dampak dari konflik yang terjadi, ada sekitar 216 anak di Kabupaten Puncak tidak mendapatkan akses pendidikan.
Dari 216 anak tersebut, 109 anak merupakan peserta didik jenjang Sekolah Dasar (SD), dan 107 anak tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
“Jumlah ini belum termasuk dengan pengungsi yang telah keluar dari kabupaten konflik ke kabupaten lain yang dianggap lebih aman, seperti Nabire dan Timika,” paparnya.
Di tengah situasi konflik dan heroik itu, bersamaan pasukan TNI/Polri terus dikirim (mobilisasi) ke daerah-daerah konflik tersebut, termasuk membuka pos-pos baru di tengah pemukiman warga yang tersisa, sehingga menimbulkan teror dan trauma mendalam bagi warga sipil dan pengungsi yang sudah semakin tidak berdaya.
Kondisi riril ini, mengharuskan gereja selalu berjalan bersama dan bergumul bersama umat tentang iman dan situasinya, termausk menyaksikan konflik, menyaksikan penderitaan umat beriman dengan “budaya kematian” yang tidak beradab ini.
“Kami harus mengatakan bahwa selain isu politik Papua merdeka, isu investasi juga menjadi latar belakang konflik yang berkepanjangan hingga saat ini,” ujarnya lagi.
Situasi ini, lanjut Saul Wanimbo akan berdampak lebih luas, seperti pada lingkungan hidup, karena hampir terjadi pembabat hutan, rusaknya ekosistem dan menambah buruknya iklim, dan lebih lagi masyarakat pemilik hak ulayat akan kehilangan banyak hak mereka, terutama hak hidup. (via)
Jumlah Pengunjung: 10

3 months ago
75
















































