Suara dari Palungan untuk Dunia yang Luka

12 hours ago 8

TIMIKA, timikaexpress.id – Dunia zaman ini ditandai oleh berbagai suara dan tangisan: kekerasan, ketidakadilan, penindasan, pengungsian, serta penderitaan yang semakin menggema, termasuk di Indonesia, khususnya di tanah Papua.

Di sisi lain, ketimpangan sosial-ekonomi, pengusiran paksa, krisis ekonomi, kelaparan, kemiskinan, serta hilangnya harkat dan martabat manusia terus memperparah luka-luka kehidupan masyarakat.

Suara ketidakadilan itu tidak pernah sunyi. Dalam konteks inilah, setiap orang beriman dipanggil untuk menghadirkan suara profetis di tengah penderitaan dunia dengan iman Kristiani.

Di tengah realitas ketidakadilan, penindasan, penderitaan, dan kemiskinan, kita diajak untuk membaca tanda-tanda zaman (lih. Gaudium et Spes 4) sekaligus tanda-tanda luka kehidupan masa kini.

Gereja dipanggil untuk memeluk kaum miskin dan mereka yang menderita (lih. Lumen Gentium 8) dengan kasih yang berakar pada kebenaran Ilahi.

Suara dari palungan adalah seruan kenabian yang menggugah hati setiap orang untuk bertobat, sekaligus mengakui luka-luka yang dihasilkan oleh struktur sosial yang tidak adil dan oleh dosa manusia yang memecah belah kehidupan bersama.

Palungan, tempat Yesus Kristus dibaringkan, secara simbolis mengungkapkan kesederhanaan dan kedalaman makna Natal.

Di sanalah kasih Ilahi hadir untuk membangun persaudaraan, merajut kesatuan, kerukunan, dan perdamaian, serta mengajak semua orang bekerja sama demi kesejahteraan umum dan keadilan sosial (lih. Nota Pastoral KWI 2018:3). Dalam konteks ini, suara dari palungan menjadi suara perlawanan terhadap ketidakadilan dan penderitaan manusia, mereka yang miskin, terasing, dipinggirkan, dan dimusuhi.

Suara profetis ini berpihak pada mereka yang kecil dan lemah, sebagaimana ditegaskan Yesus sendiri: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (lih. Mat. 25:35–40).

Palungan juga menegaskan bahwa Allah tidak meninggalkan mereka yang ditolak dunia.

Sebaliknya, Allah berdiri bersama mereka dan mengubah luka serta penolakan menjadi ruang perjumpaan dengan kasih karunia-Nya.

Palungan menjadi tempat di mana suara-suara yang selama ini diabaikan—suara kaum kecil, kaum miskin, dan mereka yang rapuh akhirnya didengar.

Kitab Suci menegaskan hal ini: Allah adalah Allah yang mendengar jeritan umat-Nya dan bertindak demi pembebasan mereka (lih. Kel. 3:7–8).

Nabi Yesaya pun mewartakan tentang hamba Tuhan yang diurapi untuk membalut hati yang remuk dan membawa kabar baik bagi orang-orang sengsara (lih. Yes. 61:1), nubuat yang digenapi oleh Yesus Kristus sendiri (lih. Luk. 4:18–21).

Dengan demikian, luka sosial bukan sekadar persoalan etis, melainkan juga medan pewahyuan Allah dan panggilan iman bagi manusia zaman ini.

Di tengah krisis ekonomi, persoalan kesehatan mental dan psikologis, diskriminasi, kesepian, trauma, dan rasisme, Gereja hadir untuk mewartakan kebaikan Allah yang diakui dan diterima oleh semua manusia (lih. Lumen Gentium 17).

Gereja menjunjung tinggi martabat luhur manusia sebagai citra Allah dan benih Ilahi dalam diri setiap pribadi (lih. Gaudium et Spes 3).

Karena itu, Gereja terus menyuarakan seruan profetis demi penghormatan dan pembelaan martabat manusia, serta membuka diri untuk bekerja sama dengan semua pihak yang berkehendak baik dalam memperjuangkan keadilan dan keselamatan hidup bersama.

Dalam dunia yang ditandai oleh derasnya arus globalisasi dan kekerasan, kepedulian terhadap sesama menjadi komitmen moral dan iman.

Paus Fransiskus, melalui ensiklik Evangelii Gaudium dan Fratelli Tutti, menyebut dunia modern sebagai “dunia yang terluka” dan menegaskan bahwa Gereja harus bertindak seperti “rumah sakit lapangan” yang pertama-tama merawat luka sebelum mengajarkan norma (lih. EG 49; FT 67).

Kasih, solidaritas, dan kehadiran yang menyembuhkan menjadi wajah konkret Gereja di tengah dunia.

Akhirnya, Natal bukan sekadar perayaan kelahiran seorang bayi di palungan, melainkan panggilan bagi dunia dan Gereja untuk bertobat dari luka-luka dosa serta menjadi saluran belas kasih Allah bagi mereka yang hidup dalam ketakutan, kecemasan, ketidakadilan, dan penderitaan. Peristiwa kelahiran Yesus yang dibaringkan di palungan karena “tidak ada tempat bagi mereka di penginapan” (lih. Luk. 2:7)—mencerminkan pengalaman pengucilan yang masih nyata hingga hari ini.

Karena itu, marilah kita menjadi cahaya Natal bagi sesama, menghadirkan harapan, keadilan, dan damai Kristus bagi dunia yang terluka. Semoga Damai Natal memberkati kita semua.

(Penulis: Fr. Yuven Migani Belau)

Jumlah Pengunjung: 16

Read Entire Article
Sumut Bermartabat| Timika Hot | | |