Joachim Elsoin (FOTO: IST/TIMEX)
TIMIKAEXPRESS.id – Tokoh Pemuda suku Aika dan juga sebagai Pengawas di Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko), Joachim Elsoin menanggapi sosialisasi yang digelar oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Mimika bersama Lemasa, Lemasko serta menghadirkan Kemenkumham dan Majelis Rakyat Papua (MRP) di Hotel Horison Ultima pada 12-13 Maret .
Joachim Elsoin kepada Timika eXpress melalui telepon pada Minggu (16/3) mengatakan bahwa berdasarkan informasi yang telah dipublikasikan melalui media di Timika bahwa sosialisasi yang digelar Kesbangpol itu bertujuan untuk memediasi dualisme dua lembaga yang telah terjadi sejak sekian lama.
“Saya sebagai pengurus inti di Lemasko sangat apresiasi atas digelarnya kegiatan itu, karena itu sebagai langkah pemerintah untuk mengakhiri dualisme dua lembaga masyarakat adat di Timika,” ujarnya.
Joachim Elsoin menyebutkan bahwa berdasarkan hasil dari rapat itu, telah disepakati oleh masing-masing ketua lembaga untuk dibentuknya lembaga baru, yang dinamakan “Lembaga Hukum Adat,”.
Kemudian dibentuk satu tim khusus guna digelar rapat tertutup untuk membahas secara interen terkait siapa yang akan menjadi pimpinan dan pengurus pada lembaga baru (Lembaga Hukum Adat).
“Yang jadi pertanyaan, lembaga hukum adat yang akan dibentuk itu dasar hukumnya apa? Apakah lembaga hukum adat itu nantinya hanya untuk melancarkan urusan terkait melegalkan tanah hak ulayat, atau melepas tanah ke pihak pemerintahan atau perusahaan di Timika,” tuturnya.
Kemudian fungsi lembaga adat ini nantinya akan bicara terkait apa? Apakah terkait hukum adat suku Kamoro saja atau soal hak ulayat, sementara lembaga adat itu tidak miliki bukti kepemilikan hak ulayat.
“Kalau tidak ada bukti kepemilikan hak ulayat, lalu bagaimana mau selesaikan persoalan hak ulayat,” ungkapnya.
Guna menghindari kecurigaan masyarakat pemilik ulayat atas dibentuknya lembaga baru itu, maka sangat diharapkan agar ditinjau kembali, sehingga tidak ada persoalan tumpang tindih “Adat di atas Adat”.
Yang harus diingat dan diketahui, salah satu yang punya hak ulayat di Timika adalah suku Aika. Karena sebelum Lembaga Hukum Adat dibentuk, harus ditinjau sehingga ke depannya tidak ada lagi dualisme yang bisa merugikan masyarakat adat.
“Sebelum Lembaga Hukum Adat itu dibentuk, pemerintah harus hadirkan pemilik ulayat agar Lembaga Hukum Adat itu bisa berjalan sesuai aturan adat, undang-undang yang berlaku di Indonesia serta sah secara hukum. Karena dalam undang-undang sudah jelas, bahwa pemerintah harus melindungi keberadaan hukum adat dan menghargai pemilik hak ulayat selama masih ada,” ujarnya.
Suku Aika selaku pemilik hak ulayat saat ini masih ada di Kamoro. Karena Kamoro berasal dari suku Aika, dan Aika itu adalah Kamoro, sehingga harus dihargai dan benar-benar dilibatkan dalam urusan apapun yang berkaitan dengan persoalan adat dan haknya.
“Kami berharap pemerintah harus tinjau kembali. Kami juga minta kepada Bamus Lemasko dan tim yang telah dibentuk untuk melaksanakan musdat lembaga baru itu, supaya kembali kepada aturan yang jelas agar tidak bertabrakan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia,” katanya.
Joachim Elsoin menegaskan bahwa pemerintah di Mimika harus paham bahwa Kamoro berasal dari Aika dan Aika adalah Kamoro itu sendiri, karena itu sebelum Lembaga Hukum Adat terbentuk, maka harus melalui satu pintu, yaitu pintu yang punya “Hak Ulayat”.
Selain itu, Aika merupakan nama suku asli di Mimika. Mimika dalam bahasa Aika adalah “Air mengalir deras dari atas ke bawah”.
Suku Aika sendiri pertama kali ditemukan oleh ekspedisi Cartenz pada tahun 1623 dan tahun 1938 oleh expedisi Colijn dan Dozy.
Bukti kepemilikan berupa satu peta dasar wilayah Mimika, West New Guinea.
Tahun 1938, pada masa pemerintah Belanda, seluruh wilayah Papua sudah dibuatkan peta dasar.
Kemudian Tahun 1938, perusahaan Belanda bernama Nederlands Nieuw Guinea Petroleum Maatchappi (NNGPM) sudah beroperasi di pertambangan Erstberg, sehingga telah dibuat peta dasar khusus untuk daerah pertambangan dari gunung Ngga Beloe sampai garis pantai laut Arafura.
“Itu ada dokumennya dan dilengkapi peta dasar,” ujarnya.
Menurutnya, seiring waktu PT Freeport Indonesia membuat peta baru dan membagi wilayah dari Mille 50 ke gunung menjadi hak suku Amungme, sedangkan dari Mile 50 sampai garis pantai laut Arafura, menjadi hak ulayat suku Kamoro.
“Yang sebenarnya PTFI membagi wilayah tanpa hak. Saya harap pemerintah tinjau kembali sebelum Lembaga Hukum Adat ini dibentuk dengan mempertimbangkan hak ulayat yang ada,” pungkasnya. (via)
Jumlah Pengunjung: 5