FOTO BERSAMA- Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko) Gregorius Okoare, didampingi Taorekegau (Ketua APK), Yohanis Mamiri (DPA Lemasko), Dikson Bonai (DAK Lemasko) dan Tomas Too (DPA Lemasko) foto bersama Senin (17/3) (FOTO: LINDA/TIMEX)
TIMIKAEXPRESS.id – Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko) Gregorius Okoare, mempertanyakan adanya upaya dari Majelis Rakyat Papua (MRP) yang meminta dua lembaga adat besar di Timika yakni Lemasko dan Lemasa (Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme) untuk melaksanakan Musyawarah Adat (Musdat).
Hal ini dikarenakan terkesan mendesak, sehingga pihaknya mengindikasi ada upaya intervensi dan kepentingan tertentu.
Melalui jumpa pers yang dilaksanakan di Hotel Cenderawasih 66 pada Senin (17/3) Gerry yang didampingi sejumlah pengurus Lemasko diantaranya Rafael Taorekegau (Ketua APK), Yohanis Mamiri (DPA Lemasko), Dikson Bonai (DAK Lemasko) dan Tomas Too (DPA Lemasko), dirinya mengungkapkan, sebelumnya sesuai dengan undangan yang diterima dari MRP beberapa hari sebelumnya berisi tentang sosialisasi. Oleh karena itu perwakilan lembaga adat hadir memenuhi undangan.
Namun dalam pelaksanaannya pihaknya menyayangkan karena tidak sesuai dengan dengan undangan, namun lebih kepada mengarahkan dua lembaga adat yakni Lemasko dan Lemasa untuk melaksanakan Musdat.
Oleh sebab itu, badan pengurus Lemasko menolak beberapa poin yang menjadi catatan dari hasil pertemun tersebut, yang mana salah satunya adalah membentuk tim formatur untuk pelaksanaan Musdat, apalagi dalam tim formatur tersebut, tidak berasal dari badan pengurus.
Sehingga pihaknya meminta agar tim formatur ini dibubarkan.
Hal ini dikarenakan tidak sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Lemasko.
Pasalnya, sesuai dengan AD dan ART, Musdat baru bisa dilaksanakan pada Tahun 2027 mendatang atau setelah masa kepengurusan yang ada saat ini berakhir.
Selain itu, pihaknya juga mempertanyakan menganai upaya membentuk organisasi yang disebut “dewan hukum adat” karena ini akan menjadi rancu di tengah masyarakat.
Apabila lembaga ini akan bentuk maka itu hanyalah kelompok kecil dan tidak mewakili suku Kamoro.
“Lemasko yang ada saat ini adalah sah, karena berdasarkan SK dari Kemenkum-HAM, memiliki akta pendirian yang jelas, dan melalui pemilihan masyarakat adat yang terdiri dari 82 kampung dan 14 distrik di wilayah Mimika,” katanya.
Lemasa dan Lemasko itu sudah jalankan amanat yang sudah dilakukan oleh leluhur Amungme dan Kamoro turun temurun.
Namun kehadiran MRP yang mendadak meminta adanya Musdat menjadi pertanyaan. Ini dikahwatirkan akan menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
“Ini kan kita tidak tahu apakah ada kepentingan lain. Jangan sampai mengadudomba masyarakat,” tukasnya.
Lanjut Gerry, MRP adalah perwakilan atau refresentasi masyarakat adat yang diutus oleh lembaga adat, sehingga sedianya MRP tidak melakukan intervensi terhadap persoalan internal lembaga adat.
Dapat dipahami bahwa MRP mengambil langkah ini tentunya dengan melihat adanya dualisme di tubuh dua lembaga adat besar ini.
Namun dirinya menekankan bahwa lembaga adat tandingan adalah tidak sah, karena hanya dibentuk oleh sekelompok orang.
Sehingga Lemasko dibawah kepemimpinannya saat ini adalah yang sah karena memiliki kekuatan hukum yang kuat, serta memiliki wilayah adat yang jelas.
“Perusahaan Freeport saja mempercayakan pengelolaan dana lembaga kepada Lemasko yang ada saat ini. Apa ia perusahaan sekelas Freeport mempercayakan lembaga yang tidak sah dan tidak memenuhi syarat,” katanya lagi.
Sementara itu Rafael menambahkan, tidak ada tugas dan tanggung jawab Majelis Rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus rumah tangga lembaga adat di wilayah-wilayah tertentu.
Kata dia, MRP dibentuk untuk mengarahkan dan mempertimbangkan gubernur wakil gubernur pada pelaksanaan Pilkada dan bukannya untuk mengatur lembaga adat.
Sementara itu, terkait dengan pembentukan masyarakat hukum adat, dirinya menegaskan bahwa ini berbeda dengan lembaga adat yang ada saat ini.
Dimana Lemasko adalah keterwakilan dari seluruh masyarakat adat Kamoro dan budayanya.
Lanjutnya, selama ini masyarakat sudah hidup dalam buadaya sebagaimana mestinya.
Karena itu, kehadiran MRP dalam sosialisasi beberapa hari sebelumnya seharusnya memberikan pencerahan hukum, terkait bagaimana sebuah lembaga yang seharusnya sesuai dengan aturan, bukannya membentuk tim formatur dadakan.
Sedangkan Yohanis Mamiri yang juga hadir dalam kesempatan itu menambahkan, salah satu hal yang perlu digarisbawahi adalah kehadiran pemerintah dan MRP sejajar, sehingga tidak bisa melakukan intervensi terhadap lembaga adat.
Karena intervensi yang dilakukan ini, berpotensi menimbulkan konflik di tengah mayarakat, apalagi dengan pernyataan bahwa freeport akan membekukan pendaan untuk Lemasko.
Oleh karena itu, pihaknya mengimbau kepada masyarakat agar tidak terprovokasi dengan isu yang beredar saat ini, karena pengurus akan tetap berpegang pada tatanan yang sudah berjalan selama ini, agar tidak menimbulkan gesekan di tengah mayarakat.(jet)
Jumlah Pengunjung: 5